JUAL BELI

A. LANDASAN

Al Baqarah : 275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(Al-baqarah 275).
Kesimpulan :
·         Sesungguhnya tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga.” Artinya karena dia hendak membela pendiriannya menternakkan, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang yang berniaga itupun serupa juga dengan pekerjaannya makan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau mencari makan. Keberadaannya jauh berbeda. Berdagang, ialah si saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah. Yang menjual mendapat untung, yang membeli pun mendapat untung pula karena yang diperlukannya telah didapatkannya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya dia dihalalkan Tuhan.
·         Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan yang pertama diperoleh melalui kerja manusia, sedangkan yang kedua yang menghasilkan adalah uang, bukan kerja manusia. Jual beli menuntut aktivitas manusia, sedangkan riba tanpa aktivitas mereka. Jual beli mengandung kemungkinan untung dan rugi tergantung kepada kepandaian pengelola, kondisi dan situasi pasar ikut menentukan; sedangkan riba menjamin keuntungan bagi yang meminjamkannya, dan tidak mengandung kerugian. Riba tidak membutuhkan kepandaian dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan. Itu sedikit yang membedakannya.

2.      An Nisa : 29



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (An-nissa 29)

MUFRADAT
.
Ø  kalimat Ÿ Nä3s9ºuqøBr& (#þqè=à2ù's?w yang dikait dengan Mà6oY÷t/ memberi isyarat larangan memakan harta dengan cara yang curang.
Ø   È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ : Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah, atau perdagangan yang membawa kerusakan dan kehancuran. Termasuk di dalamnya hasil riba, pencurian, perjudian, dan lain sebagainya.
Ø  <Ú#ts?`tã:  Masing masing pihak (penjual-pembeli) rela dan suka terhadap suatu transaksi bisnis yang mereka lakukan. Yang direalisasikan dalam dalam bentuk ijab dan kabul, yaitu kata-kata penerimaaan dan pembelian dari penjual dan pembeli.d
Kesimpulan:
Dasar perniagaan adalah saling meridhoi, di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah :
a.       Dasar halalnya perniagaan adalah saling mridhoi antara pembeli dengan penjual. Penipuan,pendustaan, dan pemalsuan adalah hal hal yang diharamkan.
b.      Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap, hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk memprsiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal
c.       Mengisyaratknan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan batil sebab pembatasn nilai sesuatu yang menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasrkan neraca yang lurus merupakan sesuatu yang musthil.
d.      Oleh sebab itu, disini berlaku toleransi jika salah satu diantara dua benda pengganti lebih besar dari pada yng lainnya, atau yang menjadi penyebab tambahanya harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang dagangannya, dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa pemalsuan dan penipuan

3.        Ar Rahman : 9


“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Ar-rahman 9).
KESIMPULAN :
1.    Isyarat bahwa Allah memperhatikan segala perbuatan dan perkataan manusia.
2.    Allah mewasiatkan keadilan dan menekankan agar keadilan itu dipakai dan dianjurkan. Pertama, Allah SWT telah menyuruh agar melakukan keseimbangan fisik kemudian melarang tughyan, yang berarti melampaui batas. Selanjutnya dia melarang Khusran yang berarti melarang mengurangi.
Qatadah berkata mengenai ayat ini berlaku adilllah hai anak adam, sebagaimana kamu ini diperlakukan adil, dan tunaikanlah dengan sempurna, sebagaimana kamu ingin ditunaikan dengan sempurna. Karena dengan keadilan manusia menjadi .

1. Menjual barang yang dimanfaatkann oleh pembeli untuk sesuatu yang haram.
Jika seorang penjual mengetahui dengan pasti, bahwa si pembeli akan menggunakan barang yang dibelinya untuk sesuatu yang diharamkan, maka akad jual beli ini hukumnya haram dan batil. Jual beli seperti ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allah berfirman:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah:2)
Misalnya seseorang yang membeli anggur atau kurma untuk mebuat khamr, membeli senjata untuk membunuh seorang muslim, menjual senjata kepada perampok, atau para pemberontak atau kepada pelaku kerusakan. Begitu juga hukum menjual barang kepada seseorang yang diketahui aka menggunakannya untuk mendukung sesuatu yang diharamkan Allah, atau menggunakan barang itu untuk sesuatu yang haram, maka seorang pembeli seperti ini tidak boleh dilayani.
2. Menjual barang yang tidak ia miliki.
Misalnya, seorang pembeli datang kepada seorang pedagang mencari barang tertentu. Sedangkan barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang atau si penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli. Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, jika barang yang diinginkan itu sudah ditentukan. Dan termasuk menjual hutang dengan hutang, jika barang yang diinginkan tidak jelas harganya dibayar dibelakang.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah melarang cara berjual beli seperti ini. Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabt bernama Hakim bin Hazam radhiallahuanhu berkata kepada rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang di carai tidak ada padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membeli barang itu.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Tirmidzi)
Demikian ini menunjukkan adanya larangan yang tegas, bahwa seseorang tidak boleh menjual sesuatu kecuali telah dimiliki sebelum akad, baik dijual cash ataupun tempo. Masalah ini tidak boleh diremehkan. Pedagang yang hendak menjual sesuatu kepada seseorang, hendaknya ia menjamin keberadaan barangnya di tempatnya atau di tokonya, gudangnya, show roomnya atau toko bukunya. Kemudian jika ada orang yang mau membelinya, dia bisa menjualnya cash atau tempo.
3.      Jual beli secara ‘inah.
Apakah maksud jual beli dengan ‘inah itu? Yaitu engkau menjual sesuatu barang kepada seseorang dengan pembayaran tempo (bayar di belakang), kemudian engkau membeli barang itu lagi (dari pembeli tadi) dengan harga yang lebih murah, tetapi dengan pembayaran kontan yang engkau serahkan kepada pembeli. Ketika sudah sampai tempo pembayaran, engkau minta dia membayar penuh (sesuai dengan harga yg kita berikan saat dia membeli barang pada kita) Ini disebut jula beli ‘inah (benda), karena benda yang dijual kembali lagi kepada si pedagang semula. Ini adalah haram. Karena bertujuan untuk menyiasati riba. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Jika kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah memegang ekor sapi, dan kalian rela dengan bercocok tanam, Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mengangkatnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan memiliki beberapa penguat)
4. Di antara jual beli yang terlarang, yaitu najasy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya)
Misalnya, dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang dengan harga tertentu, kemudian ada sesorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak berniat untuk membelinya.. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama dengan penjual ataupun tidak. Orang yang menaikkan harga, padahal tidak berniat untuk membelinya telah melanggar larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Janganlah kalian melakukan Jal beli najasy”
Orang yang tidak berniat membeli dan tidak tertarik pada suatu barang, hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang berminat untuk saling tawar-menawar sesuai harga yang dinginkan. Tidak boleh ada kesepakatan antara si penjual dengan beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya, agar pembeli yang datang menawar degan harga yg lebih tinggi. Ini juga termasuk najasy dan juga haram, mengandung unsur penipuan dan mengambil harta dengan cara batil. Termasuk jual beli najasy-sebagaimana dsebutkan oleh ulama ahli fikih- yaitu perkataan seorang penjual “aku telah membeli barang ini dengan harga sekian”, padahal ia berbohong. Tujuannya untuk menipu para pembeli agar membelinya dengan harga tinggi. Atau perkataan penjual “aku berikan barang ini dengan harga sekian”, atau perkataan “barang ini harganya sekian”, padahal ia berbohong. Dia hendak menipu para pengunjung agar menawar dengan harga lebih tinggi dari harga palsu yang dilontarkannya. Ini juga termasuk najasy yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Termasuk perbuatan khianat, menipu dan perbuatan bohong yang akan dihisab di hadapan Allah. Para pedagang wajib menjelaskan harga sebenarnya jika ditanya oleh pembeli “anda membelinya dengan harga berapa?” Beritahukan harga yang sebenarnya. Jangan dijawab “barang ini di jual kepada saya dengan harga sekian”, padahal ia berbohong. Termasuk dalam masalah ini, yaitu jika seorang pedagang di pasar atau pemilk toko sepakat tidak akan menaikkan harga tawar, jika ada penjual yang datang menawarkan barang, agar penjual terpaksa menjualnya dengan harga murah. Dalam hal ini, mereka melakukan kerjasama. Ini juga termasuk najasy dan mengambil harta manusia dengan cara haram
5. Di antara jula beli yang dilarang adalah, seorang muslim melakukan akad jual beli di atas akad saudaranya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Janganlah sebagian di antara kalian berjualan di atas jualan sebagian.”
Misalnya, seseorang mencari barang, dan ia membelinya dari seorang pedagang. Lalu pedagang ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada si pembeli dalam tempo selama dua atau tiga hari atau lebih. Pada masa-masa ini, tidak boleh ada pedagang lain yang masuk dan mengatakan kepada si pembeli tadi “tinggalkan barang ini, dan saya akan memberikan barang sejenis dengan kualitas yang lebih baik dan harga lebih murah.” Penawaran seperti ini merupakan perbuatan haram, karena berjualan di atas akad beli saudaranya. Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon pembeli, maka biarkanlah calon pembeli berpikir, jangan ikut campur. Jika calon pembeli mau, ia bisa melanjutkan akad jula beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya, maka engkau boleh menawarkan barang kepadanya. Begitu juga membeli diatas pembelian saudaranya, hukumnya haram. Misalnya,  jika ada seseorang mendatangi pedagang hendak membeli suatu barang dengan harga tertentu, lalu ia memberikan hak pilih kepada pedagang (jadi atauu tidak) selama beberapa waktu. Maka selama masa pemilihan itu, tidak boleh ada orang lain ikut campur, pergi ke pedagang seraya mengatakan “saya akan membeli barang ini darimu dengan harga yang lebih tinggi dari tawaran si fulan”. Demikian ini merupakan perbuatan haram. Karena dalam perbutan ini tersimpan banyak madharat bagi kaum muslimin, pelanggaran hak-hak kaum muslimin, menyakitkan hati mereka. Karena jika orang ini mengetahui bahwa engkau ikut campur dan merusak akad antara dia dengan pembeli atau penjual, dia akan merasa marah, dongkol dan benci. Bahkan mungkin dia mendoakan keburukan bagimu, karena engkau telah menzhaliminya.
6. Di antara jula beli yang dilarang ialah, menjual dengan cara menipu.
Engkau menipu saudaramu dengan cara menjual barang yang engkau ketahui cacat tanpa menjelaskan cacat kepadanya, Jual beli seperti ini tidak boleh, karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan. Para penjual seharusnya memberitahukan kepada pembeli, jika barang yang hendak di jual tersebut dalam keadaan cacat. Kalau tidak menjelaskan, berarti ia terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:
“Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujr, niscaya keduanya akan diberikan berkah pada jula beli mereka. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan (cacat barang) , niscaya berkah jula beli mereka dihapus.”
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melewati seorang pedagang dipasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok makanan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab:”Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam!” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Mengapa enggkau tidak menaruhnya diatas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongna kami”.
Hadits yang mulia ini sebagai salah satu kaidah dalam muamalah jula beli dengan sesame muslim. Tidak sepantasnya bagi seorang muslim menyembunyikan aib barangnya. Jika ada aibnya, seharusnya diperlihatkan, sehingga si pembeli bias mengetahui dan mau membeli barang dengan harga yang sesuai dengan kadar cacatnya, bukan membelinya dengan harga barang bagus. Betapa banyak kasus penipuan yang dapat kita lihat sekarang. Betapa banyak orang yang menyembunyikan aib suatu barang dengan menaruhnya di bagian bawah, dan menaruh yang baik di bagian atasnya, baik sayur mayor atau makanan lainnya. Ini dilakukan dengan sengaja . Ini adalah perbuatan maksiat.



Kitab Suci Al-Qur’an
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz V, hal 26.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 27, hal 190.
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah volume 1, hal 593


Ijtihad


IJTIHAD

Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu. Setelah nabi wafat barulah ijtihad diperlukan oleh ulama mujtahidin untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’an.

1.     pengertian  ijtihad
1.1       Ijtihad menurut arti kata (etimologi)
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa arab “JAHADA”. Bentuk kata masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya :
A.     Jahdun, dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.
Contohnya dapat ditemukan dalam surah Al-An’am (6) : 109, yang artinya
“Mereka bersumpah dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah”
B.   Juhdun, dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit,berat dan susah.
1.2       Ijtihad menurut Istilah (terminologi)
Ø  Menurut Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah,mendefinisikan :
“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara sampai ketingkat Zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu “.
Ø  Menurut Abu Zahrah
“ Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istimbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”

Dari menganalisa definisi diatas dan membandingkannya, dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut :
1.      Ijtihad adalah pengerahan kemampuan/daya nalar secara maksimal
2.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih (ahli fiqih) atau mujtahid
3.      Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah
4.      Usaha ijtihad ditempuh melalui cara istinbath

2.     Dasar hukum ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain :
Ø  Ayat 59 Surat an-Nisa :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS: an-Nisa’/4:59)

Ø  Hadist yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal,yang berbunyi :
“ Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az,sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus mu’az ke yaman, maka beliau bertanya kepada mu’az, atas dasar apa Anda mengutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia  menjawab dengan dasar sunnah Rasullulah SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasullulah?”, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasullulah SAW”. (HR.Tirmizi)


3.     Fungsi ijtihad
Imam Syafi’I ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah,ketiak menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, maka dapat disimpulkan fungsi ijtihad sebagai berikut :
§   Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat Hadis Mutawatir seperti Hadis Ahad
§   Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas,istihsan, dan maslahah mursalah.

4.     Syarat-syarat seorang mujtahid
1.    Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
baik secara bahasa maupun secara istilah syariat.Tidak perlu menghafal di luar kepala dan tidak pula perlu menghafal seluruh Al-Qur’an. Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
2.    Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’.
3.    Mengetahui tentang mana ayat atau hadist yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yanh me-nasakh atau sebagai penggantinya.
4.    Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh ijma.Hal ini agar keputusan ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma.
5.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan mampu menerapkannya.
6.    Menguasai bahasa arab secara mendalam. Karena Al-Qur’an dan hadits tersusun dengan gaya bahasa arab yang sangat tinggi.
7.    Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dan turunnya hadits agar dapat menggali hukum dengan tepat.
8.    Mengetahui kaidah-kaidah istimbath hukum (ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum sehingga menghasilkan hukum yang benar.

Jika seseorang belum memiliki syarat-syarat tersebut, hendaklah menahan diri untuk melakukan ijtihad. Karena disampinh ijtihadnya akan salah juga akan menyesatkan orang lain.Namun bagi yang sudah memiliki syarat-syarat tersebut diatas lalu di kemudian hari ternyata hasil ijtihadnya dinilai salah maka hasilnya tetap dihargai dengan mendapat satu bagian kepala.

5.     Tingkatan-tingkatan mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Dalam hukum islam, orang yang berijtihad atau mujtahid memiliki beberapa tingkat :
1)        Mujtahid fi al-syar’i/ Mujtahid Mustaqil/ Mujtahid Mutlaq => Tingkat tertinggi
Yaitu orang yang membangun suatu mazhab. Mereka disebut mujtahid mustaqil, yang berarti terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang menerapkan metode istinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fiqih. Contohnya, para imam mujtahid tang empat yaitu Imam abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
2)        Mujtahid fi al-Mazhab
Yaitu mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tapi mengikuti salah seorang imam mazhab.Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam mujtahid fi al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany dalam mazhab Syafi’i.



3)        Mujtahid fi al-masail
Mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali.
4)        Mujtahid fi at-Tarjih
Mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas membandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya.

6.     Pembagian ijtihad dan Macam-macam ijtihad
6.1       Pembagian ijtihad
Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian :
1.    Ijtihad muthlaq/ ijtihad paripurna yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milah dalam bentuk bagian-bagian masalah tertentu.
2.    Ijtihad juz’I atau ijtihad parsial yaitu kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami bagian yang lain.
Muhammmad Abu zahrah dalam bukunya ushul fiqh, membagi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihad, kepada dua bagian :
1.      Ijtihad istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan.
2.      Ijtihad tahbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian.

6.2       Macam-macam ijtihad
Dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman :
1.    Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nash itu.
Contohnya : menetapkan keharusan beriddah tiga kali suci
Firman Allah Al-Qur’an surat al baqarah (2) : 228
“ Istri-istri yang tertalak hebdaknya hebdaknya ber’iddah tiga kali quru’ “
Dalam ayat itu memang disebutkan batas waktu ‘iddah tiga kali quru’, namun lafaz quru’itu mwmiliki dua pengertian yang berbeda : bisa berarti suci, bisa berarti haid.
2.         Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali hukum terhadap suatu kejadian yang tidak     ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qat’I maupun dhanni.
Ijtihad bentuk ini memang tidak “tersurat”, tetapi “tersirat” dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum dibalik dalil yang “tersirat” diperlukan ijtihad dengan cara merentangkan hukum yang telah ada dalam nash kepada kejadian lain yang belum ada ketentuan hukumnya.
3.         Ijtihad istilahi, yaitu ijtihad untuk menggali, menemukan, merumuskan hukum syar’I untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash, baik qat’I maupun zhanni, dan tidsk memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada. Dasar peganganijtihad ini yaitu hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk kemaslahatan umat, baik dalam mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudharat.

Dilihat dari segi pelaksanaannya atau dari segi siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalaian dan penemuan hukum :
1.    Ijtihad fardi atau ijtihad perorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu orang. Jenis ijtihad ini memungkinkan dilakukan jika masalah atau kasus bersifat sederhana dan terjadi ditengah masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari berbagai disiplin ilmu.
Umpamanya, ijtihad dalam menetapkan berlakunya tayamum, apakah berlaku hanya untuk satu shalat atau lebih dari satu shalat.
2.    Ijtihad jama’I atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama). Ijtihad dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat rumit meliputi bidang yang luas dan melibatkan banyak ahli daro berbagai disiplin ilmu.
Contohnya, mencari dan menemukan hukum “bayi tabung “, untuk menemukan hukumnya tidak dapat dilakukan oleh seseorang ahli hukum, tetapi setidaknya melibatkan ahli biologi dan dokter ahli kandungan.
7.     Hukum berijtihad
Hukum melakukan ijtihad adalah bisa fardu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunat), dan bisa pula haram.
A. Fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat menjadi mujtahid) bilamana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkan. Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain.
Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain, bilamana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera mendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
B. Fardhu Kifayah , Jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu diantara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
7.1.1        Sunnah, berijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal :
v  Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqih pengandaian)
v  Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan orang.
7.1.2        Haram, berijtihad haram hukumnya dalam dua hal yaitu :
v  Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadis Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma’. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal selain itu.
v  Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat mujtahid. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu yang hukumnya haram.

8.     Lapangan ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah yabg sudah ada nashnya secara qat’i (jelas dan tegas) serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri, pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas dll, serta ayat yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum perdagangan, riba, etika kepada orang tua dan sebagainya). Ayat-ayat tersebut diatas bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nashnya sudah qat’i.
Yang menjadi lapangan ijtihad ialah ayat-ayat atau hadits yang masih mengandung dugaan (zhan) belum jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum musik dan nyanyian, hukum membaca qunut dalam sholat subuh. Atau sama sekali pada masalah yang hukumnya tidak ada seperti hukum KB, bayi tabung, menggugurkan kandungan, dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua macam :
a.         Sesuatu yang ada nashnya tapi nashnya masih zhan
b.        Sesuatu yang hukumnya tidak ada dalam nashnya

9.     Metode ijtihad
Untuk melakukan ijtihad ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
a.    Qiyas : Dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab.
Contohnya, mencium isteri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa krena disamakan  dengan berkumur-kumur.
b.    Maslahah mursalah : Menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada azas menarik manfaat dan menghindari madharat
Contohnya, mencatat pernikahan
c.    Istihsan : yaitu memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syariat.Meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum.
Contoh boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir
d.   Istihsab : Melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya.
Contohnya, segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya, maka hukumnya mubah.
e.    Urf : Kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat.
Ada 2 macam urf. Pertama urf shahih, yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contohnya, acara tahlilan, mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari raya.
Kedua urf  fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf shahih. Contohnya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, minum-minuman keras pada hari ulang tahun dll.


Kesimpulan

Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ".
Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.   
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat Hadis Mutawatir , Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas,istihsan, dan maslahah mursalah.
Tingkatan-Tingkatan ijtihad yaitu ijtihad Mujtahid fi al-syar’i/ Mujtahid Mustaqil/ Mujtahid Mutlaq, Mujtahid fi al-Mazhab, Mujtahid fi al-masail, Mujtahid fi at-Tarjih
Lapangan ijtihad itu ada dua macam yaitu Sesuatu yang ada nashnya tapi nashnya masih zhan, Sesuatu yang hukumnya tidak ada dalam nashnya. Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah yabg sudah ada nashnya secara qat’i (jelas dan tegas).


Daftar pustaka

Effendi,Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008, Cet.II.
Shidik, Safiudin, M.Ag, Ushul Fiqh

Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008, Ed. 1, Cet. 4.