IJTIHAD
Di
zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan baru yang belum ada
hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi menjawabnya berdasarkan
petunjuk wahyu. Setelah nabi wafat barulah ijtihad diperlukan oleh ulama
mujtahidin untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap
berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’an.
1. pengertian ijtihad
1.1
Ijtihad
menurut arti kata (etimologi)
Ijtihad
diambil dari akar kata dalam bahasa arab “JAHADA”. Bentuk kata masdarnya ada
dua bentuk yang berbeda artinya :
A.
Jahdun,
dengan
arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.
Contohnya dapat ditemukan dalam surah Al-An’am (6) :
109, yang artinya
“Mereka bersumpah dengan Allah
sesungguh-sungguh sumpah”
B.
Juhdun,
dengan
arti kesanggupan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit,berat dan
susah.
1.2 Ijtihad menurut Istilah
(terminologi)
Ø Menurut Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan
Hanafiyah,mendefinisikan :
“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan
hukum-hukum syara sampai ketingkat Zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu
merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu “.
Ø Menurut Abu Zahrah
“
Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istimbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”
Dari
menganalisa definisi diatas dan membandingkannya, dapat diambil hakikat dari
ijtihad itu sebagai berikut :
1.
Ijtihad adalah
pengerahan kemampuan/daya nalar secara maksimal
2.
Usaha ijtihad
dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan
yang disebut faqih (ahli fiqih) atau mujtahid
3.
Produk atau yang
diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’
yang bersifat amaliah
4.
Usaha ijtihad
ditempuh melalui cara istinbath
2. Dasar hukum
ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan
kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain :
Ø
Ayat 59 Surat
an-Nisa :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS: an-Nisa’/4:59)
Ø Hadist yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal,yang
berbunyi :
“ Dari al-Haris bin Amr, dari
sekelompok orang teman-teman Mu’az,sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus mu’az
ke yaman, maka beliau bertanya kepada mu’az, atas dasar apa Anda mengutuskan
suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “kalau
tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia
menjawab dengan dasar sunnah Rasullulah SAW. Beliau bertanya lagi :
“kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasullulah?”, Mu’az menjawab aku akan
berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah
yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasullulah SAW”. (HR.Tirmizi)
3. Fungsi ijtihad
Imam
Syafi’I ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah,ketiak menggambarkan
kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka
tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam
kitab Allah terdapat petunjuk tentang
hukumnya”. Menurutnya hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa
menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh
karena itu menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam
upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Pernyataan
Imam Syafi’I diatas, maka dapat disimpulkan fungsi ijtihad sebagai berikut :
§ Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran
riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat Hadis Mutawatir seperti Hadis Ahad
§ Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas,istihsan,
dan maslahah mursalah.
4. Syarat-syarat
seorang mujtahid
1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
baik secara bahasa
maupun secara istilah syariat.Tidak perlu menghafal di luar kepala dan tidak
pula perlu menghafal seluruh Al-Qur’an. Seorang mujtahid cukup mengetahui
tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya
menemukan waktu yang dibutuhkan.
2. Mengetahui
tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’.
3. Mengetahui
tentang mana ayat atau hadist yang telah dimansukh
(telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat
atau hadis yanh me-nasakh atau
sebagai penggantinya.
4. Menguasai
seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh ijma.Hal ini agar keputusan ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma.
5. Memiliki
pengetahuan yang luas tentang qiyas
dan mampu menerapkannya.
6. Menguasai
bahasa arab secara mendalam. Karena Al-Qur’an dan hadits tersusun dengan gaya
bahasa arab yang sangat tinggi.
7. Mengetahui
latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)
dan turunnya hadits agar dapat menggali hukum dengan tepat.
8. Mengetahui
kaidah-kaidah istimbath hukum (ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan
menganalisa dalil-dalil hukum sehingga menghasilkan hukum yang benar.
Jika
seseorang belum memiliki syarat-syarat tersebut, hendaklah menahan diri untuk
melakukan ijtihad. Karena disampinh ijtihadnya akan salah juga akan menyesatkan
orang lain.Namun bagi yang sudah memiliki syarat-syarat tersebut diatas lalu di
kemudian hari ternyata hasil ijtihadnya dinilai salah maka hasilnya tetap
dihargai dengan mendapat satu bagian kepala.
5. Tingkatan-tingkatan
mujtahid
Orang
yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Dalam hukum islam, orang yang
berijtihad atau mujtahid memiliki beberapa tingkat :
1)
Mujtahid fi
al-syar’i/ Mujtahid Mustaqil/ Mujtahid Mutlaq => Tingkat
tertinggi
Yaitu
orang yang membangun suatu mazhab. Mereka disebut mujtahid mustaqil, yang berarti terbebas dari bertaqlid kepada
mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun dalam furu’
(fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri mempunyai metode istinbat, dan mereka
sendirilah yang menerapkan metode istinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk
hukum fiqih. Contohnya, para imam mujtahid tang empat yaitu Imam abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
2)
Mujtahid fi
al-Mazhab
Yaitu
mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tapi mengikuti salah seorang imam
mazhab.Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa
masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam
mujtahid fi al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany
dalam mazhab Syafi’i.
3)
Mujtahid fi
al-masail
Mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah
dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab
Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab
Hambali.
4)
Mujtahid fi
at-Tarjih
Mujtahid
yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan
hukum tetapi terbatas membandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan
mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat
dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah
dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya.
6. Pembagian
ijtihad dan Macam-macam ijtihad
6.1
Pembagian ijtihad
Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian
:
1. Ijtihad muthlaq/ ijtihad paripurna
yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milah dalam
bentuk bagian-bagian masalah tertentu.
2. Ijtihad
juz’I atau ijtihad parsial yaitu kajian mendalam tentang bagian tertentu dari
hukum dan tidak mendalami bagian yang lain.
Muhammmad Abu zahrah dalam bukunya ushul fiqh,
membagi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihad, kepada dua bagian :
1.
Ijtihad
istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan
menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan.
2.
Ijtihad
tahbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan
dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid
terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian.
6.2
Macam-macam ijtihad
Dilihat
dari segi dalil yang dijadikan pedoman :
1. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung
dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi
penunjukannya. Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari
dalil nash itu.
Contohnya : menetapkan keharusan beriddah tiga kali
suci
Firman Allah Al-Qur’an surat al baqarah (2) : 228
“ Istri-istri
yang tertalak hebdaknya hebdaknya ber’iddah tiga kali quru’ “
Dalam ayat itu memang disebutkan batas waktu ‘iddah
tiga kali quru’, namun lafaz quru’itu mwmiliki dua pengertian yang berbeda :
bisa berarti suci, bisa berarti haid.
2.
Ijtihad qiyasi,
yaitu ijtihad untuk menggali hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam
nash baik secara qat’I maupun dhanni.
Ijtihad
bentuk ini memang tidak “tersurat”, tetapi “tersirat” dalam dalil yang ada.
Untuk mencari hukum dibalik dalil yang “tersirat” diperlukan ijtihad dengan
cara merentangkan hukum yang telah ada dalam nash kepada kejadian lain yang
belum ada ketentuan hukumnya.
3.
Ijtihad istilahi, yaitu
ijtihad untuk menggali, menemukan, merumuskan hukum syar’I untuk kejadian yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat nash, baik qat’I maupun zhanni, dan tidsk
memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada. Dasar peganganijtihad ini
yaitu hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk kemaslahatan umat, baik
dalam mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudharat.
Dilihat
dari segi pelaksanaannya atau dari segi siapa yang terlibat langsung dalam
melakukan penggalaian dan penemuan hukum :
1.
Ijtihad fardi
atau ijtihad perorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu orang. Jenis
ijtihad ini memungkinkan dilakukan jika masalah atau kasus bersifat sederhana
dan terjadi ditengah masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan
penelitian atau kajian dari berbagai disiplin ilmu.
Umpamanya,
ijtihad dalam menetapkan berlakunya tayamum, apakah berlaku hanya untuk satu
shalat atau lebih dari satu shalat.
2.
Ijtihad jama’I
atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara
kolektif (bersama). Ijtihad dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang
diselesaikan sangat rumit meliputi bidang yang luas dan melibatkan banyak ahli
daro berbagai disiplin ilmu.
Contohnya,
mencari dan menemukan hukum “bayi tabung “, untuk menemukan hukumnya tidak
dapat dilakukan oleh seseorang ahli hukum, tetapi setidaknya melibatkan ahli
biologi dan dokter ahli kandungan.
7. Hukum berijtihad
Hukum melakukan
ijtihad adalah bisa fardu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunat), dan bisa pula haram.
A. Fardhu ‘ain
(wajib dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat menjadi
mujtahid) bilamana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban
hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkan. Ia tidak boleh bertaklid kepada
mujtahid lain.
Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain, bilamana seseorang ditanya
tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera mendapat
jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan
hukumnya.
B. Fardhu Kifayah
, Jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Bilamana satu diantara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan
tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
7.1.1
Sunnah, berijtihad
hukumnya sunnah dalam dua hal :
v
Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang
belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqih pengandaian)
v
Melakukan ijtihad pada masalah-masalah
yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan orang.
7.1.2
Haram, berijtihad
haram hukumnya dalam dua hal yaitu :
v
Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadis Rasulullah, atau hasil ijtihad
itu menyalahi ijma’. Ijtihad hanya
dibolehkan pada hal-hal selain itu.
v
Berijtihad bagi seseorang yang tidak
melengkapi syarat-syarat mujtahid. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya
tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara
dalam agama Allah tanpa ilmu yang hukumnya haram.
8. Lapangan ijtihad
Tidak
boleh melakukan ijtihad pada masalah yabg sudah ada nashnya secara qat’i (jelas dan tegas) serta tidak
mengandung ta’wil didalamnya seperti
ayat tentang keesaaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (sholat, puasa,
zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri, pelaku zina, hukuman membunuh, hukum
qisas dll, serta ayat yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum
perdagangan, riba, etika kepada orang tua dan sebagainya). Ayat-ayat tersebut
diatas bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nashnya sudah qat’i.
Yang
menjadi lapangan ijtihad ialah ayat-ayat atau hadits yang masih mengandung
dugaan (zhan) belum jelas. Seperti
tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum musik dan nyanyian, hukum membaca
qunut dalam sholat subuh. Atau sama sekali pada masalah yang hukumnya tidak ada
seperti hukum KB, bayi tabung, menggugurkan kandungan, dan sebagainya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua macam :
a.
Sesuatu yang ada
nashnya tapi nashnya masih zhan
b.
Sesuatu yang
hukumnya tidak ada dalam nashnya
9. Metode ijtihad
Untuk melakukan ijtihad
ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu
adalah :
a.
Qiyas
: Dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada
hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab.
Contohnya,
mencium isteri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa krena
disamakan dengan berkumur-kumur.
b.
Maslahah mursalah : Menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya
dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada
azas menarik manfaat dan menghindari madharat
Contohnya,
mencatat pernikahan
c.
Istihsan :
yaitu memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syariat.Meninggalkan dalil
khusus dan mengamalkan dalil umum.
Contoh
boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat
yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir
d.
Istihsab : Melangsungkan
berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya.
Contohnya,
segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya, maka hukumnya
mubah.
e.
Urf : Kebiasaan
yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat.
Ada
2 macam urf. Pertama urf shahih, yaitu
urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal
sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contohnya, acara
tahlilan, mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari raya.
Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang
merupakan lawan urf shahih. Contohnya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, minum-minuman
keras pada hari ulang tahun dll.
Kesimpulan
Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap
kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu
keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran
dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud
sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah,
apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi
apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ".
Ijtihad tidak berlaku
dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya
diatur oleh Allah dan Rasulullah.Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
Ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke
tingkat Hadis Mutawatir , Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas,istihsan,
dan maslahah mursalah.
Tingkatan-Tingkatan
ijtihad yaitu ijtihad Mujtahid fi
al-syar’i/ Mujtahid Mustaqil/ Mujtahid Mutlaq, Mujtahid fi al-Mazhab, Mujtahid
fi al-masail, Mujtahid fi at-Tarjih
Lapangan
ijtihad itu ada dua macam yaitu Sesuatu yang ada nashnya tapi nashnya masih
zhan, Sesuatu yang hukumnya tidak ada dalam nashnya. Tidak boleh melakukan
ijtihad pada masalah yabg sudah ada nashnya secara qat’i (jelas dan tegas).
0 komentar:
Posting Komentar